Apakah Vlogger dan Blogger Dapat Dikatakan Sebagai Jurnalis?

Apakah bisa seorang vlogger yang mendokumentasikan kegiatannya melalui sebuah video atau blogger yang menuangkan perasaan atau opininya melalui sebuah tulisan di website disebut sebagai jurnalis?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sampai sekarang masih menjadi perdebatan banyak orang dan beberapa ahli.

Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telaah lebih jauh mengenai istilah jurnalis atau jurnalistik itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Understanding Magazines (1969), Roland E. Wolseley mengartikan jurnalistik sebagai aktivitas pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, termasuk pendapat pemerhati, dan hiburan secara sistematik, baik berbentuk majalah maupun siaran.

Sementara itu, menurut Djen Amar dalam bukunya yang berjudul Hukum Komunikasi Jurnalistik (1984). Ia berpendapat bahwa jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, serta menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dan secepatnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalis diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengumpulkan serta menulis pemberitaan, baik di media massa cetak, ataupun elektronik.

Dari beberapa pernyataan tersebut, dapat kita sepakati bahwa jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, memproses sebuah pemberitaan untuk disampaikan kepada khalayak secara cepat dan sistematis melalui media cetak ataupun elektronik. Sementara orang yang melakukan kegiatan jurnalistik tersebut disebut sebagai jurnalis.

Linda Jones (2006) berpendapat seorang blogger tidak boleh dianggap jurnalis, karena mereka tidak sama sekali tunduk pada proses dan tidak mendapat tekanan yang sama dengan jurnalis. Blogger tidak ditekan oleh sub-editor dan editor, mereka tidak dilatih untuk mempertimbangkan konten yang mungkin memfitnah/ menghina, tidak mempertimbangkan kelayakan nilai berita, dan tidak mempertimbangkan tata bahasa dan gaya bahasa.

Memang benar bahwasanya seorang blogger tidak mendapatkan tekanan yang sama dengan jurnalis saat meliput berita. Mereka berdiri di atas kepentingan mereka sendiri sebagai individu untuk menulis dan memberitakan tentang apa yang mereka inginkan. Berita yang mereka tulis pun biasanya juga bukan sebuah berita, tapi lebih kepada esai, artikel opini, atau feature. Namun, apakah benar blogger tidak bisa disebut sebagai jurnalis?

Mari kita mundur sejenak beberapa tahun ke belakang saat internet dianggap mengancam dunia jurnalis. Narasi seperti “Lure and addiction of life online” (The New York Times, 18 Maret 1995) atau “Obsessive internet users have true addiction” (USA Today, 15 Oktober 1995) memenuhi laman media konvensional saat itu. Para jurnalis berusaha meyakinkan audience-nya bahwa media konvensional lebih jujur sementara internet seringkali berbohong. Namun, pada saat yang sama, internet makin menguat karena kapasitas komunikatif internet yang menawarkan komunikasi secara real time dan dua arah.

Hal ini kemudian di klaim oleh The Sunday Times bahwa konsumen yang saat ini dapat mengakses berbagai macam sumber berita tanpa filter dapat menimbulkan masalah kepercayaan dan kredibilitas. Pernyataan tersebut mewakili skeptisnya media konvensional dengan perkembangan teknologi terutama internet. Namun, karena perkembangan teknologi yang massif menjadikan internet tidak bisa ditolak sebagai bagian dari kehidupan.

Seiring berjalannya waktu dengan internet yang semakin berkembang, jurnalisme tradisional dengan media cetak sebagai perantaranya pun mulai banyak ditinggalkan orang. Bagaikan kepunahan dinosaurus, jurnalisme tradisional khususnya jurnalisme cetak yang telah mendominasi lebih dari 300 tahun lamanya mulai ditinggalkan. Kebangkitan internet dan platform global online menjadi ancaman bagi jurnalisme tradisional yang mengalami kesulitan mengembangkan fungsi baru untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan peningkatan lingkungan yang kompetitif. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi pun tersingkir dengan sendirinya.

Hadirnya internet membuat terjadinya evolusi jurnalisme. Internet membuka jalan bagi munculnya bentuk jurnalisme yang menarik dan mungkin lebih kuat. Oleh karena itu mutasi jurnalisme dapat terjadi setelahnya dengan mewarisi sifat-sifat jurnalisme sebelumnya dilengkapi dengan sifat yang baru, kombinasi tersebut membawa jurnalisme ke arah yang baru misalnya jurnalisme di media sosial dan open source/ journalism warga. 

Berangkat dari hal tersebut, kita dapat melihat tiga proses adaptasi dari jurnalisme. Pertama, jurnalisme tradisional berusaha memaksakan norma dan kriterianya sendiri pada media baru. Kemudian, jurnalisme berusaha beradaptasi dengan memasukkan fitur interaktivitas, multimedia dan hiperteks (dimulai pada awal tahun 2000). Lalu, hasil akhirnya adalah munculnya jenis jurnalisme baru dari lingkungan media yang baru.

Pada fase ketiga evolusi jurnalisme, ada dua peristiwa yang dianggap penting bagi kebangkitan jurnalisme baru di dunia, yaitu tsunami Aceh tahun 2004 dan serangan teroris di London tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut dilaporkan melalui kontribusi saksi mata, dimana foto dan video diambil dari dokumentasi oleh warga/masyarakat.

Setelah mengetahui awal kemunculan jurnalisme modern yang melahirkan blog, kita kembali ke pertanyaan awal, apakah vlogger dan blogger dapat disebut sebagai jurnalis?

John Pilger dalam pidatonya di Heyman Center for Humanities di Univ. Columbia mengatakan bahwa internet adalah alternatif, mereka yang menulis berita di internet seringkali menulis bagaikan jurnalis.

Blogger dapat dianggap sebagai satu-satunya jurnalis atau wartawan yang tersisa ketika sebuah lembaga yang berwenang dalam negara menyensor media-media utama atau melakukan tekanan terhadap media utama. Pada saat-saat seperti itulah seorang blogger diperlukan untuk memberikan informasi se-transparan mungkin kepada khalayak dan bertahan dengan resiko adanya perlakuan tidak menyenangkan dari pemerintah yang berkuasa.

Meskipun seorang blogger dikatakan tidak mendapat tekanan yang sama seperti jurnalis, namun kenyataannya sebagian blogger menghadapi masalah dengan adanya pembatasan, beberapa otoritas pemerintah mempunyai cara teknis untuk menyensor internet seperti di negara Kuba dan negara Vietnam pengguna internet tidak dapat mengakses website yang mengkritisi pemerintah, menampilkan masalah korupsi, atau yang membicarakan tentang hak asasi manusia. Isi website yang bersifat “subversif” dan “ilegal” menurut pandangan pemerintah secara otomatis akan diblok oleh filter.

Menurut penulis, masalah yang dihadapi seorang blogger seperti yang dikatakan di atas tidak berbeda jauh dengan tekanan yang didapat oleh jurnalis saat meliput berita. Sama seperti blogger, seorang vlogger juga kerap diberi batasan dalam mendokumentasikan suatu kejadian jika dinilai melanggar kebijakan komunitas platform yang mereka gunakan, seperti YouTube atau Instagram. Sebagai contoh, video mengenai konflik di Palestina atau video amatir yang mengandung unsur kekerasan. Video yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan komunitas berpotensi di-takedown atau diturunkan atau dihapus dari platform tersebut. Tidak hanya sampai situ, orang yang mengupload video tersebut pun berpotensi untuk dikenakan sanksi seperti pembatasan akun hingga penghapusan akun.

Berangkat dari hal tersebut, penulis berpendapat bahwa seorang blogger dan vlogger dapat disebut sebagai jurnalis karena meskipun mereka tidak mendapat tekanan di lapangan atau tekanan dari redaktur jika berita yang ingin dipublish tidak sesuai dengan visi misi yang dijalankan, mereka tetap dibatasi oleh kekuatan yang lebih berkuasa di atas mereka seperti dari pemerintah atau kebijakan platform yang mereka gunakan.

Perlu diingat, ketika seorang blogger melakukan kegiatan jurnalisme, maka mereka haruslah mempunyai etika. Jurnalisme tidak hanya sekedar menulis dan menuangkan opini, etika jurnalisme lebih kepada nilai dan prinsip yang melandasi jurnalisme terhormat yang meliputi ketelitian, akurasi, kejujuran dan transparasi serta kebebasan.

Pada akhirnya, tidak peduli jika orang tersebut adalah seorang blogger atau jurnalis, yang dibutuhkan oleh pembaca adalah informasi jujur yang ditulis oleh mereka. Pembaca sendirilah yang akhirnya memutuskan untuk memilih sumber informasi yang ingin mereka percaya.


Referensi:

Materi Minggu ke-1 Pengantar Digital Journalism Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma

Mufadhol. (2009). Blogger Jurnalis Independen.

https://www.romelteamedia.com/2021/08/blogger-juga-wartawan-medianya-blog.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unboxing Ducati for Personal Video Content, Cleverly Taking the Opportunity or a Sign of Apathy?

Dinas Kesehatan Tangerang Selatan Kesulitan Melakukan Vaksinasi Booster Kepada Lansia